Pada bab 4 ini membahas tentang matinya profesi guru dimana hal tersebut sangat penting dan fundamental dalam dunia pendidikan karena relasi pedagogis pendidikan formal tidak akan bisa lepas dari peranan guru. Guru memegang peranan penting dalam suatu siklus pendidikan dan hal tersebut menjadi subtansial dalam pembelajaran. Hal ini masih dikritisi oleh penulis buku yaitu Pak Tyas bahwa di masa orde baru guru banyak yang tidak berkualitas dan terganggu dalam mengajar dan mengembangkan pendidikan karena telah terganggu oleh politik sehingga hal tersebut yang akan dibahas di Limas #4 ini. Pemantik menjelaskan tentang pergeseran peran guru selama orde baru dimana terdapat perubahan dari awal kemerdekaan hingga saat ini seperti semula guru menyandang profesi sebagai ideolog namun saat ini malah menjadi apatis, dan lain sebagainya. Selanjutnya pemantik menjelaskan tentang menurunnya minat menjadi guru, hal ini bermula pada awal kemerdekaan guru menjadi pembaharu atau membawa perubahan namun saat ini guru menjadi aparatur negara dan menjadi sasaran industri.
Pada awal kemerdekaan guru datang dari golongan priyayi atau golongan terhormat karena saat itu yang dapat mengakses pendidikan hanya golongan tinggi maka banyak pula orang tua yang menginginkan anaknya menjadi guru pula namun karena perubahan pola pikir masyarakat, pada awal tahun 70-an profesi guru diduduki oleh orang-orang dari kalangan menengah hingga kebawah karena tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi maka banyak orang-orang yang memilih melanjutkan pendidikan ke SPG atau Sekolah Pendidikan Guru yang diharapkan bisa menjadi mobilitas vertikal sama seperti pada awal kemerdekaan. Sedangkan orang-orang yang dari kalangan atas memilih untuk melanjutkan SMA dan memiliki tujuan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sehingga nantinya melanjutkan ke bidang yang lebih bergengsi seperti dokter, hukum, dan lain sebagainya. Selanjutnya yaitu ketidaksejahteraan guru, sudah menjadi rahasia umum apabila untuk diangkat menjadi guru negeri terutama guru SD harus membayar dengan uang pelican hingga jutaan rupiah karena pemikiran apabila menjadi guru maka nantinya akan kaya sehingga banyak orang yang berani mengeluarkan uang untuk dapat menjadi guru. Tidak sedikit pula calon guru yang terlilit hutang hanya karena berkeinginan menjadi guru seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga banyak guru yang tidak fokus untuk mengajar namun hanya fokus untuk membayar hutang atau balik modal.
Pada awal kemerdekaan, gaji guru tidak sejahtera dibandingkan dengan PNS lainnya padahal guru memiliki tanggung jawab yang besar namun gaji yang diterima dapat dikatakan kecil sehingga tidak sebanding dengan tugas yang dijalani. Hal tersebut berdampak pada semangat mengajar guru yang semakin lama hilang karena gaji yang diterima tidak sebanding dengan harga bahan pokok dan juga menyebabkan kualitas pendidikan kita menurun karena kualitas mengajar guru yang juga menurun. Terdapat pula tunjangan untuk guru namun terdapat pula kebijakan baru seperti tuntutan potongan gaji seperti seragam dan sebagainya sehingga guru dianggap sebagai industri bagi pemerintah karena walaupun banyak tunjangan atau kebijakan namun hal tersebut tidak berjalan lama dan pada akhirnya uang akan kembali pada pemerintah. Di desa-desa guru masih dianggap punya status sosial tinggi sehingga sering diharapkan memberi sumbangan lebih besar namun di daerah perkotaan guru menjadi kurang terhormat karena di kota siswa-siswanya diantar dengan menggunakan mobil sedangkan guru datang ke sekolah menggunakan motor bahkan sepeda. Hal ini menyebabkan wibawa guru menurun karena disebabkan oleh kelas-kelas sosial tersebut. Kemudian guru SD sering menjadi objek korupsi dan kolusi oknum pemda tingkat I dan tingkat II untuk segala yang berurusan dengan pengangkatan kenaikan pangkat, mutasi, dan pensiun. Guru sudah susah untuk melakukan mobilitas vertikal maupun horizontal sehingga dicari celah oleh birokrasi untuk masuknya uang pelican tersebut sehingga menyebabkan kualitas guru yang menurun padahal guru merupakan profesi yang dapat dikatakan suci namun dinodai oleh praktik-praktik KKN. Selanjutnya pemantik membahas tentang ketidakkritisan guru seperti tuntutan menjadi anggota PGRI dan monolobilitas kepada Golkar sehingga peran guru menjadi minimalis dan sekedar menjadi tutor, hal ini telah dijelaskan pada bab 1 bahwa Golkar dan ABRI bertanggung jawab besar terhadap penurunan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada zaman tersebut pengkerdilan guru tidak sekedar terjadi di era tersebut namun menjadi warisan tentang bagaimana perkembangan guru selanjutnya.
Ketidakkritisan guru yang selanjutnya yaitu birokrat dan organisasi sering berkolusi untuk memindahkan guru-guru yang kritis ke daerah terpencil, menghambat kenaikan pangkat mereka atau memecat dengan tidak terhormat yang tidak hanya terjadi pada era Soeharto namun hingga saat ini dunia pendidikan dan para guru menjadi sasaran dalam dunia politik apalagi pada masa pemilihan kepala daerah sehingga apabila ada yang tidak setuju maka akan dipindahkan ke daerah terpencil sangat besar dan itulah sebab mengapa guru tidak memiliki otonomi yang kuat dan terpengaruh terhadap birokrasi. Selanjutnya pemantik menjelaskan tentang plus minus kebijakan (1) angka kredit kenaikan pangkat, pada masa pemerintahan Menteri Penertiban Aparatur Negara Sarwono Kusumaatmadja menerapkan kebijakan kenaikan pangkat berbasis perhitungan angka kredit. Poin angka kredit dihitung dari kegiatan mengajar, mengikuti seminar, menulis, dan pengabdian masyarakat. Tujuannya mendorong guru agar lebih profesional dan memperkuat wawasan mereka. Namun pada kenyataannya guru hanya sekedar mengejar kegiatannya namun tidak menangkap ilmu yang didapat. Permasalahan yang timbul yaitu kualitas nilai yang ditanamkan pada kegiatan tersebut akan hilang seperti pada materi plus minus kebijakan (2) program penyetaraan guru yaitu gutu SD lulusan SPG ditingkatkan kualifikasinya menjadi D2, guru SMP ditingkatkan kualifikasinya menjadi S1. Agar tidak mengganggu pekerjaan guru, peningkatan ini melalui kuliah jarak jauh atau Universitas Terbuka (UT) yang memiliki tujuan meningkatkan kapasitas guru dan mutu pendidikan namun karena dijangkau secara masal sehingga kualitas yang didapatkan tidak maksimal dan yang didapatkan hanya kuantitas lagi. Hal ini juga memakan beban anggaran yang cukup besar karena untuk meningkatkan kualifikasi guru secara masal memakan beban anggaran yang sangat besar sehingga dapat menyebabkan kerugian. Plus minus kebijakan (3) wacana sentralisasi urusan guru yaitu karena mutu guru SD selama ditangani oleh Pemerintah Daerah terus merosot, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro melontarkan wacana menarik yaitu pengelolaan guru SD menjadi wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun wacana ini ditolak oleh Departemen Dalam Negeri dengan alasan tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah. Setelah diperhatikan oleh badan pengamat, yang didapat bukanlah semangat otonomi daerah namun politisi yang terdapat dari pendapat-pendapat tersebut. Pak Tyas juga berpendapat bahwa latar belakang dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh guru membuat daya tahan mereka lemah, mudah diintervensi oleh berbagai pihak (pemodal, penguasa, tokoh agama, tokoh organisasi, pramuniaga, dll). Guru seakan tidak punya kuasa untuk mengatakan “tidak” karena posisi tawarnya amat lemah. Bila kekuatan luar itu memaksa guru menjalankan peran sebagai komando, sebagai tutor bahkan menjadi calo dari aneka industri, guru pun hanya mengiyakan saja, hal ini dapat dikatakan bahwa guru kehilangan otonominya . Pembahasan selanjutnya yaitu isu kekerasan terhadap siswa dan dampaknya pada citra guru, perubahan paradigma tentang hak asasi anak membuat masyarakat sekarang tidak lagi hukuman fisik pada ssiwa.
Pada zaman dulu banyak guru yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswanya, namun seiring perkembangan zaman tidak lagi guru seperti itu karena saat ini kasus kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh guru dapat menyebar sehingga guru dapat dipandang semakin rendah. Kemudian situasi guru di era reformasi dan otonomi daerah, yang seharusnya baik namun politisasi yang terjadi semakin menjadi dibanding dengan pada saat pemerintahan Soeharto. Terdapat pula sisi positif dimana kesejahteraan guru lebih baik, terdapat peningkatan tunjangan profesi setelah dikeluarkannya kebijakan sertifikasi UU Guru dan Dosen, namun dalam perekrutan guru, perpindahan guru, iklim politik akan menyebabkan pengkerdilan guru kembali. Pak Tyas mengatakan bahwa sosok guru sekarang ini lebih tepat disebut sebagai sosok mimikri yang harus pandai menyesuaikan diri dimana dan dalam situasi apa mereka berada. Itu sebagai akibat dari situasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang ada sangat dominan. Guru menjadi tidak otonom lagi. Guru tidak pernah diberi peran sebagai pembaharu, ini masalah mendasar yang perlu dikritik oleh para guru sendiri. Hal ini menurut Pak Tyas merupakan warisan dari perkembangan zaman sehingga membentuk karakter bahkan kualitas guru pada saat ini.
Moderator menanggapi dan bertanya kepada pemantik, seperti yang telah tertera pada materi bahwa yang berubah hanyalah tunjangan profesi, namun dari segi politisasi dan kualitas performa guru tidak begitu meningkat dengan adanya kebijakan-kebijakan yang terkait dengan guru. Moderator mengatakan bahwa memiliki guru teladan di Indonesia yang masih menjadi guru penggerak di masa pemerintahan Pak Nadiem, beliau pernah mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh bupati dan beliau langsung disidang di kantor bupati tersebut. Kemudian guru tersebut mengatakan bahwa sebenarnya banyak guru yang berkualitas dan kritis namun menyembunyikan kekritisannya tersebut dan disampaikan kepada murid-muridnya saja ketika pembelajaran tentang bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia guru tersebut baru bisa menjawab secara terang-terangan, namun dimuka umum para guru tersebut tidak berani menjawab hal tersebut. Terdapat kasus di Bengkulu dimana ada ketua PGRI Bengkulu dan Gubernur Bengkulu yang memiliki kebijakan bahwa seluruh guru di Bengkulu wajib mengikuti organisasi PGRI padahal masih banyak organisasi guru lainnya. Nasib guru memprihatinkan karena mereka tidak bisa mengajar dengan sebagaimana yang mereka inginkan terhalangi oleh peraturan dan birokrasi yang ada. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan PPPK yang merupakan sistem perekrutan guru yang bukan PNS, Pak Tyas mengatakan bahwa seluruh mahasiswa LPTK seperti UNY, UPI, dan lain sebagainya bergerak melawan kebijakan penerimaan guru melalui PPPK tersebut. Kebijakan PPPK merupakan penerimaan guru secara kontrak selama
10 tahun sebelum PNS. Banyak sekali anak-anak LPTK yang berdemo tentang kebijakan tersebut karena mereka merasa sudah terlanjur masuk IKIP karena gaji yang didapat berbanding terbalik dengan gaji yang didapat oleh PNS dan kebijakan tersebut tidak menjamin kesejahteraan guru. Pak Tyas juga mengatakan bahwa inilah sebabnya apabila orang yang mengurus pendidikan tidak paham tentang pendidikan yang dilontarkan untuk menyindir Pak Nadiem. Salah satu dosen UNY mengatakan bahwa bagaimana pendidikan di Indonesia bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang baik sedangkan kesejahteraan guru nya juga tidak terjamin. Terdapat persoalan dimana orang-orang lulusan ilmu murni malah bisa menjadi guru karena masuk lewat PPG sedangkan orang-orang dari LPTK jadi merasa tersaingi dan untuk apa masuk LPTK apabila nantinya harus mengikuti tes PPG kembali. Moderator menanyakan bagaimana solusi untuk masalah tersebut kepada pemantik.
Pemantik memiliki guru pada saat SMA yang menempuh pendidikan S1 Kehutanan dan S2 Fisika murni dan menjadi guru fisika di sekolahan tersebut, namun guru tersebut malah memiliki kualitas mengajar yang lebih bagus dibanding dengan guru yang lulus dari jurusan pendidikan. Pemantik setuju dengan moderator dimana hal ini menjadi masalah keadilan, dari jurusan murni turun ke dunia pendidikan jelas saja beban pedagogi nya masih kurang. Menurut pemantik, hal ini disebabkan dari praktik KKN yang dilakukan pada saat penerimaan guru, masalah lapangan kerja di Indonesia, dan kurangnya guru di suatu daerah sehingga terdapat lulusan ilmu murni yang menjadi guru. Pada era sebelum reformasi, gaji guru menjadi isu mengapa kualitas guru menurun karena permasalahan ekonomi. Namun pada masa reformasi, hal tersebut diperbaiki dengan diberlakukannya kebijakan atau tunjangan-tunjangan untuk guru. Pemantik juga mengatakan bahwa setuju dengan pernyataan Pak Tyas dimana kita harus kompak untuk menolak.
Moderator menanggapi bahwa seorang pengamat pendidikan, Pak Indra Charismiadji juga pernah mengatakan bahwa beliau setuju dengan kebijakan PPPK karena banyak guru PNS yang malas untuk bekerja, dan moderator pernah mengalami hal tersebut dimana guru-guru PNS apabila waktu mengajar diwakilkan dengan guru honorer karena merasa memiliki pangkat yang lebih tinggi dibanding dengan guru honorer tersebut. Pak Tyas juga mengatakan bahwa kualitas nya sudah jelek, gaji yang diberikan sudah tinggi. Beliau juga setuju dengan sistem kontrak tersebut karena yang seharusnya PNS adalah guru yang benar-benar berkualitas dan Pak Nadiem konfirmasi di akun instagram pribadinya bahwa melalui guru kontrak inilah kemudian dinilai performa guru ini bisa atau tidak diangkat menjadi PNS. Hal ini tidak bisa kita pungkiri bahwa bagaimana seseorang mau menjadi guru kalau kesejahteraannya pun tidak terjamin.
Terdapat quotes dari Pak Lodi Paat yang merupakan salah satu pengamat pendidikan, beliau mengatakan bahwa kalaulah guru tidak paham ilmu pendidikan atau pedagogi, mereka hanyalah menjadi operator kurikulum yang hanya mengikuti SOP dan perintah dari atasan. Hal ini memberi dampak pula terhadap murid-muridnya dimana murid bisa jadi tidak apatis dan tidak kritis. Permasalahan tersebut menimbulkan wacana atau isu student centre dimana pembelajaran fokus pada peserta didik karena di Indonesia peserta didiknya dinilai kurang aktif, pembelajaran pasif, dan materi hanya terpaku pada guru yang hingga saat ini belum terdapat solusi untuk permasalahan tersebut. Moderator memberi contoh pada saat semester satu di mata kuliah Ilmu Pendidikan yang menjelaskan hubungan pedagogis antara guru, siswa, dan sekolah mungkin mahasiswa belum terlalu paham, dan bagaimana bisa menjadi seorang analis kebijakan dan membuat rekomendasi kebijakan atau program dalam sekolah kalau kita sendiri tidak paham tentang idealnya suatu konsep yang tepat untuk kebijakan tersebut.
Pemantik menanggapi pernyataan yang sempat dikeluarkan oleh Pak Indra Charismiadji bahwa hal tersebut baik pada ekspektasinya namun harus dilihat pada realita kebijakan yang ada di Indonesia, siapa yang berani menjamin tentang kualitas guru dan pada ujungnya yang bermain hanyalah KKN. Seorang pengamat pendidikan bernama Toto Rahardjo mendirikan SALAM dan pemantik mencari tahu bagaimana cara SALAM menjalankan proses pendidikannya, ternyata jauh dari bagaimana guru di sekolah formal menjalankan tugasnya di dunia pendidikan. Beliau menjelaskan bahwa anak TK atau anak SD yang ingin mengenal huruf tidak langsung dikenalkan pada tabel berisikan huruf tersebut namun praktiknya dilakukan langsung dengan suatu kegiatan seperti berkebun sehingga siswa akan mengamati dan mengenal huruf dan angka secara bertahap. Contoh yang disebutkan oleh Pak Toto adalah siswa diajak untuk menanam benih kecambah, dari kecambah tersebut siswa mengenal berbagai macam huruf seperti k, e, c, a, m, b, a, dan h. Hal ini seharusnya menjadi tantangan untuk lulusan IKIP tentang bagaimana cara guru mengajar anak yang tidak merusak pendidikan, bagaimana cara untuk menghasilkan lulusan sarjana pendidikan yang baik, dan memang guru seharusnya membawa pembaharuan untuk peserta didik.
Moderator menambahkan tanggapan yang sesuai dengan buku Pak Tyas bahwa pendidikan di Indonesia pernah menduduki tingkat kejayaan pada era 70-an dan pada zaman tersebut terdapat mata kuliah dimana diajarkan cara mendidik dan mengajar yang saat ini sudah dihapuskan sehingga orang-orang lulusan IKIP menjadi tidak paham tentang filsafat pendidikan seperti metode mendidik yang tepat. Moderator sempat mengikuti diskusi pendidikan alternatif dimana diskusi tersebut juga dihadiri oleh Pak Toto Rahardjo yang mendirikan akademi SALAM, kemudian para peserta tersebut mendapatkan studi dari Singapura atau Thailand bahwa pendidikan seperti SALAM lah yang malah bagus untuk dikembangkan karena sesuai dengan minat dan bakat atau based on experience. Prof. Ahmad Muchlis yang merupakan dosen ITB pernah mengatakan bahwa guru matematika sekarang hanya mengajar hal-hal yang bersifat teknis, padahal matematika bukan hanya sekedar perkalian atau pembagian namun juga mencakup cara berpikir secara sistematis menggunakan data-data dan lain sebagainya. Tidak tega juga apabila mengatakan bahwa guru-guru di Indonesia tidak berkualitas namun hasil survei memang menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia kurang baik karena orang orang yang dianggap pintar di sekolah, orang-orang yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolah jarang yang menjadi guru dan kebanyakan menjadi dokter, polisi, dan bidang hukum. Pak Tyas mengatakan bahwa guru harus sejahtera, guru harus mendapatkan gaji yang tinggi yang nantinya dapat menjadi acuan untuk mengajar secara maksimal tanpa memikirkan kondisi ekonominya. Namun hal ini juga menemukan kontra seperti yang dikatakan oleh Pak Indra bahwa masih banyak terdapat guru PNS yang sejahtera namun tidak ingin bersusah payah mengajar sehingga memerintahkan kepada guru junior untuk menggantikan seperti yang telah dijelaskan oleh pemantik dan moderator di awal diskusi. Kemudian moderator menanyakan kepada pemantik bagaimana cara untuk dapat memecahkan permasalahan tersebut jika dilihat dari sudut pandang seorang analis kebijakan.
Pemantik menanggapi bahwa pendidikan di Indonesia ini dari hulu ke hilir sudah banyak mengalami kebocoran dan kerusakan, namun untuk kualitas guru pemantik masih belum mengetahui solusi nya karena pada kebijakan menaikkan gaji guru tidak terlihat peningkatannya. Untuk permasalahan alternatif, pemantik terinspirasi dari sekolah nonformal yang memberi dampak baik untuk pendidikan di Indonesia seperti kata Pak Toto, beliau pesimis apabila sistem alternatif dimasukkan ke dalam pendidikan formal. Pemantik juga berharap nantinya lulusan sekolah nonformal dapat mendirikan lebih banyak lagi sekolah nonformal sehingga dapat membantu memperbaiki pendidikan di Indonesia. Dengan demikian juga dapat mengubah pemikiran masyarakat dimana sekolah nonformal dapat lebih baik dibanding dengan sekolah formal dan otomatis sekolah formal akan merasa tersudutkan dan sadar akan perubahan.
Moderator mengikuti tulisan Pak Toto dalam buku yang berjudul Sekolah Biasa Saja dan Pak Roem Topatimasang yang menulis buku berjudul Sekolah Itu Candu, beliau berdua sangat keras dalam dunia pendidikan terutama sekolah. Selain itu moderator juga sempat mengikuti suatu diskusi dari perkumpulan homeschooler dimana terdapat wacana tentang pengambilalihan pendidikan formal menjadi pendidikan nonformal, namun hal ini tidak mudah karena pendidikan formal pernah menjawab tantangan kelangkaan formasi dan sekolah merupakan tempat untuk mengisi waktu senggang. Apabila sekolah formal digantikan dengan sekolah nonformal, guru juga akan bingung karena dasar hukumnya belum jelas seperti peraturan tentang gaji dan lain sebagainya. Sekolah formal dinilai lebih enak untuk menyelundupkan pemahaman tentang pro pemerintah karena sekolah lebih terstruktur dan sistematis sehingga mudah diatur karena dibuat oleh masyarakat. Pak Toto juga sempat mengatakan bahwa pemerintah jangan sampai terlalu campur tangan tentang pendidikan, namun apabila pemerintah tidak campur tangan maka akan susah juga pendidikan dapat berjalan karena tidak dapat mengetahui bagaimana regulasi dan model pembelajaran yang akan diterapkan.
Wakadept Penalaran, Ivana Grace Laiya menanggapi bahwa tertarik dengan pembahasan terkait kualitas guru yang ada di Indonesia. Saat ini kualitas guru yang ada di Indonesia yang menyebabkan kita terjebak di dalam siklus yang berkepanjangan. Kualitas guru yang buruk akan menyebabkan pemikiran siswa yang buruk juga sehingga akan menimbulkan pemikiran tentang rendahnya jabatan guru dibanding dengan dokter, polisi, dan lain sebagainya. Namun ada pula pemikiran bahwa ingin menjadi guru hanya untuk meningkatkan kehidupannya saja, kemudian mengajarkan kepada muridnya pemikiran yang sesuai dengan pemikirannya tersebut. Hal itu dapat berlangsung secara terus menerus dan entah kapan hal tersebut akan berakhir. Apabila dilihat dari posisi sekolah dan kelas pelaku utama nya yaitu guru dan siswa dimana guru memiliki kuasa yang lebih tinggi dibanding siswa maka kita seharusnya lebih fokus untuk mengembangkan kualitas guru nya. Penanggap juga mengatakan bahwa setuju dengan apa yang dikatakan oleh moderator dimana masih banyak terdapat guru yang sewenang-wenang dan malas-malasan apalagi sekolah negeri yang merupakan binaan dari pemerintah. Semasa SMA penanggap mengatakan bahwa terdapat mata pelajaran biologi yang merupakan lintas minat dan selama satu semester guru tersebut hanya dua kali masuk untuk memberikan materi pelajaran dengan cara memberi tulisan tanpa menjelaskan. Hal tersebut sepertinya memang realita yang banyak terjadi di sekolah negeri yang pemerintahnya kurang peduli. Guru juga kurang menghayati bahwa profesi tersebut adalah profesi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun banyak guru yang beranggapan bahwa ini hanya sebagai profesi untuk menyambung hidup dan tidak memperdulikan apakah siswa menangkap materi tersebut atau tidak, yang terpenting adalah mendapat gaji untuk tetap mempertahankan kehidupannya. Apabila dibandingkan dengan dokter maupun polisi, penghayatan profesi mereka cukup berbeda, hal ini mungkin disebabkan dari cara pendidikannya yang cukup ketat dan pendidikan guru hanya sebatas lulus sebagai S1, namun hal ini juga belum diketahui penyebab akuratnya. Tetapi sudah dapat dipastikan bahwa banyak sekali faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan daripada menggencarkan siswa untuk mempelajari pendidikan karakter dan lain sebagainya, sangat penting juga untuk memperbaiki kualitas guru.
Pak Tyas menjelaskan dalam bukunya bahwa guru hanya mengejar ekstensi sosial yaitu manusia hidup maka membutuhkan pekerjaan namun tidak memikirkan beban profesinya. Pemantik juga sempat berpikir mengapa pemerintah tidak mengadakan atau membuat kebijakan tentang pendidikan guru atau kedinasan seperti hal nya dengan pendidikan polisi yang sudah jelas lebih menghayati profesinya seperti yang dikatakan sebelumnya. Pendidikan guru ini dapat dilakukan dengan sistem rekrut di setiap daerah yang memiliki kekurangan guru, namun harus dilihat dari sisi positif dan negatif sistem kedinasan tersebut bagaimana orang orang memiliki kemerdekaan atas berekspresi sangat kurang dan dikhawatirkan dengan adanya sistem kedinasan ini malah memunculkan permasalahan baru.
Moderator menanggapi tentang kurangnya kualitas guru yang menurun ke siswa, untuk menciptakan lingkungan yang berkualitas memerlukan orang-orang yang juga berkualitas. Moderator juga bercerita tentang pengalaman dalam berkomunikasi dengan guru dimana siswa menjadi lebih merasa takut salah padahal apa yang diungkapkan moderator pada saat itu benar namun guru tersebut merasa bahwa dirinya lah yang paling benar karena sudah menempuh pendidikan S1. Seperti itulah yang nantinya dapat berdampak pada mental siswa yang takut untuk mengungkapkan sesuatu. Ki Hajar Dewantara juga pernah mengatakan bahwa semua orang adalah guru sehingga antara guru dan murid seharusnya tidak ada pembatas walaupun baju yang dipakai berbeda namun dalam hal pembelajaran setiap siswa berhak aktif mengemukakan pendapat. Moderator mengatakan bahwa sejak dulu menginginkan suasana pembelajaran yang aktif dimana siswa banyak bertanya dan mengemukakan pendapat dibanding dengan pembelajaran yang pasif. Akun instagram milik Berdikari juga sempat mengunggah quotes yang mengatakan bahwa semakin banyak membaca maka bukan semakin tahu namun semakin membuat kita banyak bertanya. Namun, kondisi siswa yang banyak bertanya inilah yang tidak ditimbulkan oleh guru.
Staff Dept. Penalaran, Citra menanggapi bahwa kemarin sempat disinggung dari acara Diskusi Kritis Pendidikan hari kedua bahwasanya pilot, dokter, maupun polisi juga bisa mengajar di kelas. Maka dari itu dia sempat berpikiran bahwa jangan-jangan guru bukan suatu profesi karena semua orang bisa menjadi guru, seperti dokter, polisi, dan tentara juga bisa mengajar di bidangnya masing-masing. Jika dilihat pada zaman kerajaan dulu, zaman ketika Nusantara masih Hindu-Buddha, guru seperti Brahmana itu kastanya paling tinggi. Tetapi sekarang kita lihat gaji guru hanya berapa, bahkan semisal kuli bangunan gajinya Rp 100.000,00 per hari, guru pun masih ada yang gajinya Rp 200.000,00 per bulan (beberapa kasus masih ada yang seperti itu). Kemudian, mengapa kualitas guru masih seperti ini? Bahkan walaupun dari lulusan kampus pendidikan pun tidak menjamin gurunya menjadi baik. Bahkan apabila mau dibandingkan dengan sekolah zaman sekarang atau istilahnya sekolah beken(keren) gurunya yang bukan dari lulusan pendidikan malah bagus-bagus. Di awal-awal tadi juga sempat disinggung moderator tentang pedagogik, tentang bagaimana kualitas mengajar, bagaimana kualitas sosial maupun pribadinya walaupun pernah belajar tapi lupa tentang bagaimana dia bisa berpribadi yang baik pada siswanya, yang terpenting pedagogisnya, tapi itu tidak diajarkan dalam kampus pendidikan itu sendiri. Guru dipersiapkan untuk menjadi administrator dalam pelaporan, jadi yang lebih dipentingkan itu malah bukan bagaimana cara mengajar siswa dengan baik tetapi bagaimana memberikan laporan kepada dinas pendidikan maupun sekolah dan susunan ini pun bisa di download dari internet sehingga siapapun bisa melakukannya, tidak harus S1. Dan inipun walaupun sudah jadi bahan review tetapi tetap tidak berubah, masih seperti itu saja. Kalau misalnya guru mengadakan diskusi, jejak pendapat di kelas, atau hal kreatif lainnya jauh lebih susah daripada laporan yang berisi ulangan/tes, pada sistem ulangan tinggal memberi jawaban yang benar, salah dicoret, benar diberi nilai sekian. Apabila dengan sistem ceramah lebih mudah lagi pelaporannya daripada dengan diskusi harus membuat kelompk dan lain sebagainya.
Moderator menanggapi, dalam mata kuliah analisis isu kebijakan pendidikan juga membahas tentang gaji guru yang masih Rp 200.000,00 hingga Rp 300.000,00 per bulan. Moderator juga sempat memiliki guru yang belum menerima gaji selama 6 bulan, jadi untuk mencukupi hidupnya guru tersebut berjualan gorengan padahal beliau juga baru saja melahirkan seorang anak. Guru tersebut sepertinya guru honorer jadi harus menunggu dana BOS yang katanya belum cair dan yang dibingungkan bagaimana mekanisme cairnya dana tersebut kok selama 6 bulan belum cair.
Pemantik menanggapi, seperti yang pernah dikatakan oleh Bu Evi (Dosen Manajemen Pendidikan UNY) bahwa dana BOS turun tepat pada waktunya, namun keadaan lapangannya sudah pasti berbeda, yang menjadi permasalahan yaitu dimana dana tersebut berhenti di sekolah, di pemerintah, atau dimana? Moderator menambahkan, karena anggaran 20% untuk pendidikan itu seharusnya banyak, ternyata 20% tersebut tidak hanya khusus untuk sektor pendidikan saja tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal lain yang masih berhubungan dengan pendidikan. Dari situ kita dapat mengetahui bahwa anggaran 20% itu ternyata tidak pure untuk pendidikan saja, tetapi juga hal lainnya. Padahal sepertinya 20% itu banyak, belum lagi dikorupsi.
Citra menanggapi kembali bahwa guru memang dipersiapkan untuk membuat laporan-laporan, akan lebih mudah membuat laporan pembelajaran yang hanya berisi ceramah dan tes daripada diskusi atau hal kreatif yang menimbulkan siswa aktif sehingga akan lebih susah pelaporannya. Maka dari itu guru malas membuat pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan siswa. Dari hal tersebut kita dapat mengetahui dan hafal karakteristik guru di Indonesia yang banyak dan setiap daerah hampir sama dan tidak ada peneguran, seperti dikatakan penanggap sebelumnya yaitu Ivana, terdapat “guru hantu” yang tidak pernah masuk, kemudian masuk satu atau dua kali tiba-tiba mengadakan ulangan, terdapat pula “guru burung” yang hanya duduk dan berkicau, “guru humoris”, “guru killer” yang benar-benar membunuh dengan mempunyai dua dampak yaitu bisa membuat nilai siswa bagus dan juga down, terdapat pula “guru sales” yang tiba-tiba menawarkan untuk beli sesuatu, “guru rasis” yang ketika menjelaskan pelajaran seperti contoh mata pelajaran kimia, matematika, tiba-tiba berbicara umat Islam adalah umat terbaik dibanding yang lain atau suku Jawa adalah suku baik dibanding yang lain, selain itu juga terdapat guru yang baru menjelaskan matematika tiba-tiba membuat lawakan yang apabila semua anak kelas tertawa dia bahagia dengan lawakannya tersebut, kemudian “guru kasihan” yang menjelaskan tetapi tidak bisa menguasai kelas sehingga muridnya bercerita sendiri dan gurunya tetap menjelaskan. Pada akhirnya setiap pulang sekolah raut wajahnya selalu membatu karena selalu diperlakukan seperti itu selama bertahun-tahun. Namun, hal tersebut sepertinya tidak akan menjadi koreksi dinas pendidikan atau kementerian dalam pengajaran guru karena yang dipentingkan adalah laporan administrasi, bukan bagaimana cara guru mengajar. Penanggap juga mengatakan bahwa anggaran 20% yang dikatakan oleh moderator memang benar, tetapi bagi-bagi juga dengan hal yang lainnya.
Moderator menanggapi, hal yang dipaparkan oleh Citra sebelumnya memang terjadi seperti di SMPnya dulu, dimana terdapat guru Bahasa Inggris yang menyelenggarakan bimbingan diluar jam pelajaran atau les, walaupun guru tersebut tidak mewajibkan untuk seluruh siswa mengikuti namun seakan-akan memaksa dengan mengatakan “Ya kalau kalian mau pintar Bahasa Inggris dan nilainya bagus, ikut les ibu saja, tidak mahal”. Apabila terdapat anak yang kurang pandai di kelas dan tidak mengikuti bimbingan atau les tersebut, guru akan mengatakan “Kamu ini sudah bodoh, tidak ikut les lagi”. Inilah yang dapat digolongkan menjadi “guru sales”. Satu sisi kita tidak menyalahkan karena les dapat membantu pemahaman siswa terkait materi yang masih kurang di sekolah dan kebutuhan guru yang banyak terlebih pada guru honorer jadi wajar saja apabila seorang guru membuka les ataupun bimbingan lainnya. Terdapat pula guru dan dosen yang menjual buku walaupun di suatu sekolah atau universitas tersebut sudah disediakan buku, namun tetap mewajibkan mahasiswanya untuk membeli buku tersebut. Walaupun buku berupa ilmu tetapi hal tersebut menimbulkan ajang untuk berjualan dan mahasiswanya menjadi pangsa pasar. Pak Darmaningtyas juga mengatakan bahwa guru tidak diberikan buku yang baik dan berkualitas tentang bagaimana cara mengajar yang baik tentang mata pelajaran yang diampu, tidak diberikan buku yang berkualitas oleh pemerintah, dan perpustakaan sekolahnya banyak yang beli buku bajakan (ilegal). Roem Topatimasang (penulis Buku Sekolah Itu Candu) mengatakan bahwa dulu politik kebudayaan di era Pak Soekarno lebih bagus dibanding dengan Pak Soeharto karena di era Pak Soekarno walaupun di pelosok mereka mendapat buku-buku yang bagus, internasional, tentang filsafat, pendidikan, dan juga ekonomi. Pak Soekarno menjadi pelopor untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal ini yang sudah tidak ada lagi di era Pak Soeharto dan seterusnya. Kita juga tahu bahwa di pelosok buku-buku masih minim, sekolah saja tidak ada apalagi buku.
Citra menanggapi, untuk anggaran 20% itu memang tidak pure pendidikan, namun untuk macam-macam kebutuhan seperti untuk gaji. Di Jepang hanya 12% tapi benar khusus pendidikan jadi tersalurkan dengan baik. Mungkin dengan adanya diskusi ini kita bisa ikut mengkritik tentang bagaimana kedepannya apabila kualitas guru saja masih seperti ini, tidak ada kritik maupun pelatihan tentang pedagogi. Masih terdapat guru-guru seperti guru hantu, guru sales, guru killer, dan tidak ada guru yang seperti Mario Teguh karena guru-guru seperti di Finlandia, mereka seperti Mario Teguh yang menjadi motivator. Bahkan di sini juga ada guru yang seperti “mesin ketik” yang segala hal harus sesuai dengan teks yang ada di buku.
Apabila jawabannya tidak sama dengan yang di buku walaupun mendekati tetap dianggap salah.
Pemantik menanggapi seperti yang dikatakan Citra tadi, apakah jangan-jangan guru bukan suatu profesi? Pemantik pernah mendengar pendapat dari Sri Wahyaningsih (istri Pak Toto Rahardjo) bahwa yang sebenarnya menjadi guru adalah siswanya karena mereka yang mempunyai kuasa atas pemikirannya mereka sendiri.
Moderator menanggapi, Pak Jimmy Paat pernah mengatakan bahwa guru bukan profesi sebenarnya, karena apabila profesi terdapat syarat atau standar yang harus dipenuhi. Pak Darmaningtyas juga berpendapat bahwa guru tidak layak dianggap sebagai profesi karena masih terdapat masalah di belakangnya yang tidak memenuhi suatu profesi. Bahkan apabila dianggap mentor pun tidak efektif saat mengajar.
Penanggap selanjutnya yaitu Denada menanggapi terkait statement bahwa di sekolah tidak membangun kultur untuk kita kritis, hal ini sudah ditemuinya sejak SMP. Seperti ketika presentasi, kultur di kelas itu hanya diam saja tetapi ketika ada teman yang presentasi sering ada teman yang berpesan “nanti jangan tanya ya” hal tersebut seakan-akan mau belajar saja tidak bisa, atau “nanti sebelum bertanya, pertanyaannya dikasih yang presentasi dulu ya jadi biar bisa jawab”, jadi diskusinya tidak seperti menggali informasi yang lebih dalam hanya seperti janjian. Mereka tidak mau terlihat bodoh ketika ada di depan karena nanti apabila mereka nanti tidak bisa jawab gurunya akan seperti under estimate, dan yang miris ketika guru memberi presentasi yang isinya hanya definisi dan teori, tidak ada satu hal yang ganjal untuk dievaluasi atau dipertanyakan, sehingga kita hanya menerima saja ini sebagai teori serta ini sebagai definisi. Tetapi kemudian kita dipaksa untuk bertanya yang pastinya hanya sebatas definisi dan teori tersebut. Inilah yang agak lucu dengan kualitas guru sekarang.
Moderator menanggapi, kita sebagai pembelajar harus bisa menyesuaikan diri, seperti bagaimana mengatur supaya orang tidak merasa terganggu atau risih jika kita presentasi maupun berpendapat, walaupun sebenarnya itu hak kita. Karena memang pola pikir dan kebiasaan pelajar kita memang seperti itu. karena memang menginginkan situasi kelas yang benar-benar bagus, kuliah di luar negeri karena di sana guru sudah seperti teman sendiri yang hal ini jarang ditemukan di Indonesia.
Kemudian terkait hal yang satunya, moderator seperti membuat jadwal “baiknya minggu ini berpendapat atau bertanya tidak ya ?” jadi seperti sudah direncanakan di sticky note. Jika minggu kemarin sudah bertanya sama dosen, maka minggu depan dan dua minggu ke depannya memberi kesempatan teman-teman yang lain untuk gentian untuk berpendapat, bertanya, dan untuk mendapat poin dari dosen sehingga di kelas tidak melulu tentang kita, tentang pola pikir kita, tetapi kita juga open minded ternyata orang lain juga punya pemikiran seperti ini juga. Tetapi yang dilematis ketika kita beri kesempatan malah ada yang tidak bertanya atau berpendapat, hal ini sangat miris seperti di kelas Pancasila tidak ada yang menanggapi ataupun yang lainnya. Hal ini tidak diketahui juga salah siapa karena setiap orang memiliki hak untuk berbicara dan hal ini kembali lagi ke ruang pikiran masing-masing. Orang di Indonesia dianggap rajin julid, mereka tidak mampu melakukan apa-apa tetapi menghujat orang yang melakukan sesuatu. Pada intinya bagaimana kita mengatur posisi kita sebagai mahasiswa agar mempunyai posisi yang baik di mata teman-teman karena kita kuliah bukan cuman untuk belajar tetapi juga untuk menambah teman dan relasi. Belajar itu bukan untuk nilai tetapi mendapatkan ilmu, bukan bermaksud riya’ ataupun sebagainya. Kita tidak perlu memandang orang lain mau ngomong apa yang penting niat saya seperti ini dan saya ingin menjadi seperti ini
Pemantik mengatakan bahwa dari awal pembelajaran kurang aktif apabila melalui google meeting atau zoom, tetapi apabila diskusi melalui Whatsapp ataupun Google Classroom banyak yang bertanya atau menanggapi. Mungkin hal ini disebabkan oleh faktor canggung atau malu, dan di sekolah lain juga masih banyak terdapat janjian pertanyaan karena guru juga akan memberi nilai jadi akan memicu semangat sehingga seperti menciptakan sistem janjian di dalam kelas.
Closing Statement
Masalah guru adalah masalah yang super kompleks, dimulainya dari sejarah rezim orde baru dimana pengkerdilan guru yang terstruktur dan kemudian mewariskan ke era reformasi selanjutnya. Jadi se-idealis-idealisnya guru kalau sudah masuk ke wadah formal kemungkinan besar akan terbawa arus. Jadi hal inilah yang menjadi tantangan bagi kita sebagai mahasiswa Kebijakan Pendidikan untuk memotong siklus ini. Seperti yang sebelumnya terdapat banyak permasalahan termasuk hal nya profesi guru menjalankan keprofesiannya.