![]() |
Pamflet acara RD #16 |
“RUU PKS: Apa Kabar?”
Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah disusulkan sejak
Januari 2016 dan masuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.
Pembahasan
RUU PKS mengalami polemik karena tidak ada kebulatan suara di DPR dan adanya
pihak yang pro/kontra terhadap pengesahan RUU PKS ini, hingga dikeluarkan dari
daftar Prolegnas 2020.
Di
sisi lain, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di
Indonesia meningkat di tahun 2018-2019 (dari 406.178 menjadi 431.471 kasus).
Oleh
karena itu, perlu adanya ruang diskusi terbuka antara pihak yang pro dan kontra
untuk berdialog dua arah dalam upaya mengedukasi masyarakat mengenai RUU PKS.
Seperti
yang telah diketahui bahwa sampai saat ini belum ada payung hukum untuk
melindungi perempuan dalam menghadapi kekerasan seksual. Usulan mengenai RUU
PKS yang dianggap dapat melindungi korban dari kekerasan seksual juga masih menuai pro dan kontra. Bahkan pada
bulan Juli, RUU PKS resmi ditarik dari prolegnas prioritas DPR 2020. Urgensi
pengesahan RUU PKS ini disebabkan karena masih maraknya tindak kekerasan
seksual yang terjadi di Indonesia tetapi belum ada penanganan hukum yang jelas,
terlebih lagi dalam penanganan lanjut untuk korban.
Tercatat
bahwa sepanjang tahun 2011 hingga 2019. Ada 46.698 kasus kekerasan seksual yang
terjadi di ranah personal maupun publik terhadap perempuan. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa pemerkosaan
(9.039 kasus), pelecehan seksual (2.861 kasus), cyber crime bernuansa seksual (91 kasus). Selain itu apabila RUU
ini segera disahkan maka akan dapat mengurangi budaya menyalahkan korban yang
sampai saat ini masih banyak ditemukan, dan juga adanya penanganan hukum yang
lebih terintefrasi dengan sistem pemulihan korban.
RUU
PKS ini menjadi “spesial” karena di dalamnya memuat sembilan jenis tindakan
kekerasan seksual yang dapat dipidanakan diantaranya yaitu: Pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan
perkawinan, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan
penyiksaan seksual. Selanjutnya elemen lain yang dibahas adalah mengenai
pemindanaan (bentuk pidana lain selain pidana penjara), hukum acara, pemulihan
korban, pencegahan dan pemantauan.
Golongan
yang bersikap kontra terhadap pengesahan RUU PKS ini menganggap bahwa RUU PKS
pro-zina, pro-aborsi, ada juga pendapat bahwa sudah ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kekerasan seksual, dan RUU ini dianggap
berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan pancasila, agama, dan budaya
ketimuran.
Pembahasan
mengenai RUU PKS ini semakin hangat ketika sesi diskusi
dibuka. Diskusi tanya jawab dimulai dengan kasus pelecehan
seksual yang masih segar dalam ingatan kita yaitu kasus “fetish Gilang jarik”. Kasus ini cukup
mendapat mendapat sorotan dari banyak masyarakat.
Apabila kita tinjau dari RUU PKS maka dalam kasus ini
pelaku tidak akan hanya mendapat hukuman tetapi juga mendapatkan rehabilitasi. Maka dari itu perdebatan mengenai RUU PKS ini
seharusnya tidak dimaknai sebagai perdebatan teologis, yang mana menganggap
bahwa RUU ini telah menyalahi aturan norma, budaya, dan sebagainya. Perdebatan RUU PKS seharusnya
dimaknai sebagai perdebatan politis, yaitu tergantung pada siapa yang memimpin dan rezim yang
berkuasa.
Diskusi
dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan mengenai definisi kekerasan seksual yang masih dianggap multitafsir
apalagi yang menyangkut tentang persetujuan berhubungan badan. Namun, untuk pemahaman mengenai consent sendiri dapat diketahui dari bahasa tubuh (gesture) maupun ucapan (verbal). Seperti contoh saat orang itu
diam belum tentu ia mau melakukan hubungan seksual tersebut, semua ini dapat
kita mengerti manakala kita belajar mengenai sex education. Kemudian konsen
sebenarnya merupakan hak dan kewajiban dari seseorang, salah satu bentuknya adalah kejujuran. RUU PKS ini sudah memasukkan konsen untuk dibahas
untuk dibahas dan banyak progres yang lebih baik jika kita menerapkan RUU PKS
ini.
Jadi
perbedaan sudut pandang ini tidak boleh dianggap remeh, sebab pada konsep diri
yang menentukan sudut pandang seseorang dan imbas dari konsep tersebut akan
mempengaruhi perilaku orang-orang setelahnya. Kita tahu bahwa kekerasan seksual
Ini memang perlu segera dihilangkan, maka dari itu dari Ruang Dialektika dengan
tema ”RUU PKS: Apa Kabar?” ini, kita dibuat semakin sadar bahwa perlu banyak interaksi
antara sudut pandang pro dan kontra terhadap RUU PKS ini, sehingga kita dapat
memahami RUU PKS ini lebih berpihak kepada korban serta bertujuan melakukan
perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Kemudian untuk memahami RUU PKS ini
memang seharusnya perlu ada prakondisi tertentu seperti contohnya dengan sex
education agar dapat melihat dalam perspektif yang
lebih luas.
Memahami RUU PKS
untuk segera disahkan artinya kita memahami
bahwa lingkup kekerasan seksual itu luas dan menyangkut relasi kuasa yang
kompleks. – Khansa Nabila
Notulis : Ririn Hidayanti (Mahasiswi Kebijakan
Pendidikan 2019)
Editor : Fitri Ardingingsih (Mahasiswi Kebijakan
Pendidikan 2018)